Cerpen

  • 21 November 2018
Cerpen

Secret Latte

Author

By Wiwin Rosita

 

Dari beberapa sudut dari rumah ini, atap adalah tempat sempurna untukku. Terkadang aku risih saat angin menghembus rambutku dan membuatnya berantakan, atau saat gerimis berjatuhan tanpa permisi terlebih dulu.

Kaktus disampingku mungkin bisa minyimpan cadangan makanan lebih lama untuk hidupnya, berbeda dengan cacing diperutku yang kerap kali minta jatah karna kelaparan, di malam yang selarut ini, jasa pengantar makanan mungkin sangat jarang, atau bahkan penghuni kota sudah terlelap. semenjak kehilangan sepedaku seminggu yang lalu, aku kesulitan untuk bepergian termasuk saat kelaparan seperti sekarang ini.

Berada di atap membuatku terasa lebih dekat dengan langit, seakan menyentuh awan, bermain dengan angin, menangkap kupu- kupu yang terbang, meski itu hanyalah sebuah pantasi saja.

 

Bisakah kita mulai dengan perkenalan? aku Naya, panggilah aku Nay jika itu membuat kalian nyaman, dan sebelahku greeno, kaktus manis yang selalu menemani selama aku berada di atap. aku juga tidak tinggal sendiri, walau pada awalnya memang iya. tapi sekarang aku menemani bibi Ratna di rumah yang aku rasa terlalu besar untuk kami huni. setelah paman meninggal aku pindah kerumah ini untuk menemani bibi Ratna, dia kesepian karna tidak memiliki anak satupun.

 

Setiap hari, aku mencium aroma blacforest, redvalvet, rainbow dan berbagai jenis cake lainnya. Tentu saja bibi ku yang membuatnya, dia sangat suka membuat kue, hingga memberanikan diri untuk membuka toko kue di penghujung jalan, setiap hari toko bibi selalu ramai didatangi pengunjung, sampai akhirnya bibi membuka beberapa cabang toko di beberapa tempat dan mempekerjakan banyak pegawai, tapi tetap saja ia masih kewalahan dengan banyak customer.

 

Hari ini langit tidak semenarik sebelumnya, aku tidak punya rencana apapun dihari minggu ini, greeno jg rasanya lebih kedinginan dari biasanya. Akhirnya kutarik buku dari rak secara sembarang, ku langkah beberapa halaman dan membacanya, aku tidak tertarik. sampai ada sesuatu yang terjatuh, seperti lipatan kertas. Aku membuka lipatan itu, awalnya hanya ku kira sampah yang terselip di buku itu, tapi ada beberapa tulisan di dalamnya.

 

"untuk nay,

kau tahu jika tak ada matahari bumi mungkin tak akan seterang ini. Semuanya akan redup dan dingin. Sama seperti sup yang pernah kau buat untuku, sangat dingin tapi aku menikmatinya. Aku tahu kau tidak terlalu pandai menyajikan sesuatu di piring, tapi aku mencoba memakan apa yang kau sajikan. Bisakah kita menyatakan satu sama lain ? jujur saja ini menyesakan untukku, jika fazar tiba dan embun menghalangi langkahku, maka biarlah aku hanya melihatmu dari kejauhan."

 

apa surat ini untukku? kenapa terselip di buku milikku, apa seseorang yang aku kenal sengaja menulis ini? aku menceritakan hal itu pada kedua temanku, tapi mereka juga sama buntunya.

 

Mengenai mereka, kalian bisa memanggilnya Johan dan Rena, mereka berdua adalah temanku sedari sekolah menengah, Johan seorang pria yang tinggi juga punya paras yang menarik, diantara kami bertiga dia yang paling pintar, tapi kepintarannya yang menjadikannya seorang jomblo beberapa tahun ini karena dianggap terlalu pemilih, dia juga benci kucing. Satu-satunya orang yang tidak setuju dengan nama johan adalah Rena, wanita dengan rambut ikal yang konsisten, menurut Rena nama Johan tidak sesuai dengan kultur orang sunda, menurutnya itu terlaku terkontaminasi dengan budaya barat, itulah definisi versinya. Sampai saat ini dia konsisten memanggil johan dengan panggilan ujang. temanku ini juga sangat suka mendifinisikan sesuatu yang terkadang tidak bisa dimengerti, begitulah, kekurangan yang dia miliki adalah pelupa, itulah yang membuat dia berstatus jomblo, terakhir kali hubungannya kandas karna dia lupa mengingat tanggal aniversarry hari jadi mereka, mengerikan.

 

Dari tujuh hari yang aku punya, hari minggu menjadi hari yang paling sulit, weekend is a long time, tidak ada blackfores, icing cake dan lainnya. Toko kami tutup dihari weekend dan pagi ini aku tidak mendengar suara bibi sedikitpun, aku rasa bibi memang tidak pulang tadi malam, mungkin dia masih berada di luar kota untuk membeli beberapa bahan yang sudah habis. Bibi memang wanita yang tangguh, sejak paman tak ada lagi di sisinya, aku belum pernah melihatnya menyerah dengan hidup. Dan aku, entah apa yang aku cari selama ini, aku hanya senang berada disekitar orang- orang yang menganggap kehadiranku adalah sesuatu yang penting, seperti bibi dan nenekku. Mungkin aku harus mengunjungi nenek di weekend ini, sejak pindah kerumah bibi, nenek sering sekali menelponku untuk sekedar menanyakan kabar dan memintakku untuk sering menggunjunginya di rumah. Aku tahu nenek pasti kesepian, dia tidak sedekat itu dengan cucu- cucunya yang lain.

 

Hujan adalah hal yang aku rindukan, tapi entah kenapa dia terlihat mempermainkan aku seperti ini. Saat aku meminta, dia kadang tak memenuhinya bahkan tak pernah mendengar ocehanku. Tapi, saat aku tak menginginkannya sama sekali, dia justru datang dan mengguyurku hingga basah kuyup sebelum aku sampai di mulut pintu. Aku mendapat pelukan hangat dari nenek, sangat erat, matanya berkaca- kaca dengar senyuman yang menyungging.

“apa semuanya baik- baik saja?” tanyaku sederhana. “tentu, ditambah lagi kamu berada disini, itu membuatku nenek lebih baik” sahut nenek antusias.

Aku berganti pakaian dan menikmati sup hangat buatan nenek, aku duduk dan menikmati hujan yang berjatuhan, tanpa menghitungnya, bahkan Jo dan Rena tidak menghubungiku sama sekali. Apa mereka mulai lupa punya teman yang kesepian ini, gusar.

“tumben kamu datang sendiri, bibimu kemana?”

“Bibi masih di luar kota mengurusi beberapa hal untuk keperluan toko.”

“kamu kesepian disana?”

“tidak terlalu buruk nek, Rena dan Jo selalu bersamaku. Bisakah aku pergi untuk minum kopi di luar? Aku rindu mampir ke kedai sebrang jalan nek”

“jangan bilang kalau kamu akan kabur dan menjadikan semuanya itu alasan untuk meninggalkan nenekmu yang kesepian ini sendiri.”

“tentu saja tidak, aku akan menginap semalam disini dan pergi besok pagi, nenek senang?” pelukannya mendarat lagi.

Jika hari mulai terasa singkat, maka berhati- hatilah bahwa itu tandanya kita terlalu menikmati dunia ini, mungkin Rena akan bilang begitu jika berada disini, Jo juga tidak memberi kabar sama sekali, kemana dua makhluk pengganggu itu. Secangkir kopi rasanya sudah menggelapkan otakku, kepalaku malah semakin berat.

“Ini pesanannya mbak,”

“tapi saya sudah meminum segelas kopi, mana bisa saya menambah lagi, mungkin mbak salah meja.”

“tidak mbak, seseorang disebelah sana memesankan anda kopi, dia meninggalkan tempat ini beberapa menit yang lalu.” Aku melongo sebego- begonya. Apakah secangkir kopi hitam tiba- tiba membuatku bodoh?  Apa ini hanya kesalah pahaman saja?

“Kenapa kau minum kopi hitam di musim penghujan sendirian? Itu bukan gayamu, apa kau lupa latte adalah pilihan terbaik dari jenis lainnya? kau suka foam dari setiap latte yang kau teguk, Kau lupa kalau kau pernah mengatakannya? pulang dan tidurlah, kau hanya perlu istirahat untuk menjadi lebih baik”

Bahkan dia juga menulis beberapa kutipan surat untuku? Ini rasanya menakutkan, beberapa kali aku mengacak rambut karena tak ada yang masuk akal dari secangkir kopi ini. Aku pulang dengan kopi di tanganku, aku rasa aku perlu mencari tahu. Tapi rasanya bodoh juga jika hanya mengandalkan secangkir kopi dan surat singkat ini.

 

Hujan rasanya tahu kapan harus mengguyurku, belum kering dengan hujan tadi siang dan sekarang sebagai penutup hari minggu ini aku juga masih harus identik dengan basah kuyup, menyedihkan. Aku berlari- lari  kecil mencari tempat untuk berteduh. Tiba- tiba seorang anak kecil menyodorkan payungnya padaku, ada apalagi ini. Jangan bilang kalau payung itu juga dari orang yang sama? Jika itu memang benar, berarti dia sedang mengikutiku sekarang, kemungkianan besar kalau dia sekarang sedang bersembunyi dan memperhatikanku dari jarak yang tidak terlalu jauh. Rena sang filsuf, rasanya aku harus segera menghubunginya untuk berkonsultasi, dan Jo, rasanya dia pasti lebih tahu bagaimana menyikapi hal semacam ini.

Aku menyimpan kopi itu di kulkas dengan memberinya stempel bertuliskan “BAHAN PENELITIAN, JANGAN DI MINUM”. Itu memang harus dilakukan, memberinya stempel semacam itu adalah cara teraman untuk menghindarkannya dari jari- jari tangan nenek yang sering sekali lupa meminum sesuatu yang aku simpan di kulkas.

Setelah mendapatkan beberapa kejadian yang terasa janggal akhir- akhir ini, aku seringkali suudzan dengan orang- orang yang berada disekitarku, kadang bertingkah aneh dengan menuduh seseorang sebegai pelakunya hanya karena mereka menatapku,  padahal mereka bukan orang itu sama sekali. Kali terakhir aku justru balik dimarahi oleh seorang pria yang aku tuduh membuntutiku, padahal dia sedang mencari kekasihnya disebrang jalan. Itu memang membuatku parno setengah mimpi. Rena juga semakin gila dengan pilosofi yang dia simpulkan sendiri, “ jika kita hanya mencari dari satu sampel saja maka hasilnya akan serupa, maka harus dicari sampel yang  lain” begitu celetuknya. Sedangkan Jo bertahan ditepian sofa dengan gitar di tangannya, “aku rasa dia memang orang yang kamu kenal, apa kamu mengingat beberapa nama yang bisa dicurigai?” akhirnya Jo berpendapat yang masuk akal. Entahlah, sekeras spapun aku berpikir, teman yang aku ingat hanyalah dua bocah tengil yang sekarang sedang berada disampingku.

“Brakkkkk...” tiba- tiba Jo membanting gitarnya.

“Mona...”

Pantas saja, Mona !!! kucing peliharaan Rena mendekati Jo. Itu adalah hal yang biasa. Bahkan Mona sering sekali menjadi penyebab pertengkaran dan adu mulut kedua bocah itu.

“kita kan sudah sepakat untuk tidak melibatkan semua yang berbau kucing saat kita kumpul !!!” Jo mulai mendumel.

“ini memang  jam makan siang Mona, tentu dia akan mencariku. Heh ujang, harusnya kamu coba buat pelihara kucing sampai kamu sadar kalau kucing adalah hal yang manis” sewot Rena.

Jika sudah seperti ini, hal yang  harus aku lakukan adalah, menyusut dan membiarkan semuanya kembali seperti semula di keesokan harinya, itu akan secara otomatis merecovary satu sama lain diantara Rena dan Jo, luar biasa.

 

Greeno rasanya akan mulai kesepian saat hari minggu mengangtarkanku pada hari senin yang super sibuk, bibi juga lebih sering pulang pergi Jakarta surabaya untuk urusan bisnis cakenya, tokonya semakin menjamur dan dikenal banyak orang, dia pantas mendapatkan itu. Lalu aku  harus jadi  apa? Sudah setahun aku mencari, apa yang aku mau, dimana jati diriku, apa  yang aku suka dan minati. Tapi rasanya selalu tak pernah punya arti apapun, malah terkadang ambigu.

Selimut malam menyelimuti awan, suara malam telah bersautan bersamaan dengan lampu kota yang mulai menyala satu persatu menyatu padu dengan sang pecandu rindu. Malam ini bibi juga sedikit lebih serius dari biasanya, sejak adzan isya berkumandang bibi sudah berpesan untuk menyuruhku menemuinya di toko untuk membicarakan beberapa hal. Tidak ada yang aku curigai dari maksudnya, aku bahkan tidak bisa menebak apa yang akan dibicarakannya. Setiap dia memanggilku ke toko, mentok- mentok paling hanya berakhir di nota bahan- bahan kue yang harus aku siapkan untuk produksi.

“kamu sudah memutuskan akan kuliah dimana?”

Aku tidak pernah berpikir bibi akan membahas soal itu, selama ini aku masih menikmati aku yang sekarang, Naya yang setiap harinya mencium aroma adonan cake, pengantar pesanan, dan semua hal yang bersangkutan dengan toko. Walau aku memang sama sekali tidak pernah  tahu cara membuatnya tapi aku senang berada di toko dan melayani customer.

“bibi rasa kamu sudah memutuskan jurusan yang akan kamu ambil, semua itu bibi serahkan padamu Nay. Masalah biaya bibi yang akan tanggung semuanya, dan kamu jangan khawatir, meski kamu kuliah pintu toko akan selalu terbuka untukmu jika kamu mau” bibi rupanya semakin serius.

 

Entah  aku yang terlalu sensitif  atau apa, tapi apa yang dikatakan bibi barusan membuatku terlihat sangat menyedihkan. Menyinggung masalah biaya, aku bahkan tidak mengharapkan sepeserpun darinya, bahkan jika nanti aku benar- benar memilih untuk kuliah, aku akan berusaha menanggung semua bebannya sendiri, itu yang aku mau. Tapi rasanya, niat baik Bibi terlalu mulia untuk aku mengatakan itu, jika bibi dengar itu akan terasa jahat dan menyinggungnya. Dia memang benar- benar tulus,  dari dulu memang dialah yang berkeinginan membiayai aku untuk kuliah, tapi aku memilih untuk beristirahat dahulu selagi memikirkan apa yang akan aku ambil dan jalani pada  nantinya. Dan setahun sudah aku lulus sekolah, bukan waktunya untuk bersantai, bibi benar, bagaimanapun aku memang ingin kuliah dan aku harus belajar untuk memutuskan.

“tolong tuliskan Happy Birthday My son” Kata seorang pria paruh baya dengan wajah yang sumeringah, bisa kutebak kue ini adalah kue ulang tahun anaknya.

Setiap hari ratusan juta nyawa lahir ke muka bumi, dan setiap hari pula banyak dari sekian persen orang merayakan hari kelahirannya dengan hal yang sama persis. Di sudut etalase tempat berjejer kue Tart, seorang kakek sedang memperhatikan kue yang dilihatnya dari balik kaca, pakaiannya sederhana, bahkan bisa ditemui ada beberapa bekas jahitan yang sudah rapuh di beberapa bagian kerah bajunya. Sekitar tiga puluh menit aku perhatikan, dia akhirnya memanggilku dan memutuskan membeli kue berukuran 14 cm, itu adalah ukuran Tar terkecil di toko kami. Dari balik saku celananya ia merogoh uang dengan pecahan yang beragam, yang lebih di dominasi dengan uang 2000 rupiah. Aku tidak banyak komentar, hanya berbalas senyum dipipiku. “selamat ulang tahun, anakku” dia memintaku menuliskan pesan sederhana itu di atas balutan cream. Wajahnya antusias saat keluar pintu. Saat itu, aku memutuskan untuk membuntutinya dari arah kejauhan, aku penasaran tentangnya. Setelah berjalan beberapa langkah dari mulut pintu toko kakek itu kembali mendorong sebuah gerobak yang terdapat beberapa sayur di atasnya. Dia terus berjalan, terkadang masuk jalanan kecil, gang- gang, dan berhenti di sebuah rumah kecil yang sangatlah rapuh, aku tidak dapat mendengar apapun dari jarakku yang terlalu jauh, akhirnya aku sedikit mendekat dan melihat dengan seksama, di dalam rumah itu hanya ada seorang anak laki- laki umurnya sekitar 3 tahun, wajahnya sangat luar biasa bahagia. Aku mengetuk pintu, saat melihatku kakek itu memasang muka risau dan gelisah, dia berpikir kalau aku akan menagih uang tambahan karena uang yang diberikannya kurang, dia akhirnya mempersilahkanku duduk. Setelah bercakap dengannya beberapa menit, aku akhirnya tahu kalau anak itu adalah cucu semata wayangnya, orang tuanya entah kemana, dan istri dari kakek tersebut sudah lama meninggal. Aku mengembalikan uang yang ia belikan kue di toko, dengan alasan bahwa toko sedang memberikan promo kue geratis untuk yang berulang tahun hari ini, aku juga menyerahkan sebuah mainan kepada anak itu, beruntung tadi aku bisa lari dan menemukan toko mainan yang tidak terlalu jauh tanpa tersesat. Kakek itu diam terharu, menatapku dengan tangisnya yang mulai liar, air matanya tumpah ruah. Dengan hal sesederhana ini ternyata masih bisa menjadi berharga untuk sebagian orang, itu yang bisa aku tahu dalam kondisi sekarang.

 

Aku berada dimuka jalan, mulai mengikuti alur yang aku lalui tadi, lelah juga berjalan seperti ini. Rasanya, aku mulai sadar kalau aku tersesat. Sekitar satu jam, kakiku benar- benar sakit, dengan sisa batrai di ponselku aku menghubungi Jo dan menyuruhnya menjempuku. Aku duduk di tepian irigasi, seperti orang linglung, Jo sangatlah lambat, sudah beberapa lama aku menunggunya, sampai leherku sakit karena menengok kesana kemari untuk memastikan kedatangannya. “Nay..” bocah itu akhirnya datang setelah satu jam aku membusuk di  sini, aku memberi tatapan yang buruk pdanya untuk balasan keterlambatannya. “sorry, tadi jalanan macet.” Memangnya sejak kapan Jakarta sepi, aku sedikit memalingkan wajah. Ponselku berdering, panggilan video dari Rena.

 

“hey kenapa kalian pergi tanpa aku, dan kamu Nay, seenaknya meninggalkan toko tanpa izin. Bibi Ratna menanyakanmu padaku, aku terbengong karena tidak tahu kamu kemana, ditambah lagi Mona yang sekarang entah kemana.” Rena mulai sedikit serius, Mona bukanlah hal yang sederhana untuk Rena, dia adalah segalanya. Kehilangannya adalah suatu musibah terbesar.

“syukur deh kalau kucing itu benar- benar hilang. Tidak ada kucing di hidupku memang jauh lebih baik,”

“JOHAN !!!” teriak aku dan Rena kompak memanggil namanya. Rena menutup panggilan terlebih dulu, rasanya bocah itu akan melanjutkan pencariannya, Mona hilang dan kita berdua yang rasanya akan ditebang, hmm. 

“jangan bilang kalau kita akan mencari kucing itu?” ketus Jo.

“Jo, kita kan sama- sama tahu kalau Mona itu berharga untuk Rena, kamu juga tahu itu, ayolah jangan jadi teman yang egois.”

“walau aku harus gatal dan bentol- bentol sepanjang hari karena kucing itu? Hah?”

Aku sedikit berdebat di mobil, kemudia berlabuh dirumah Rena.

“aku akan menunggu disini !” ucap Jo sambil menutup mukanya dengan topi bersiap untuk tidur di kursi mobil.

 

Lalu aku buka topi itu dan menarik paksa Jo agar keluar dari mobil, dia akhirnya menurut walau sedikit paksaaan. Sampai di dalam rumah, semua barang rasanya telah keluar dari rak nya, baju- baju berserakan, buku dan beberapa barang lainnya memenuhi lantai seperti penjual emperan yang menjajakan dagangannya. Inilah masa pencarian Mona yang dilakukan Rena, semua isi rumah dia obrak- abrik. Sampai akhirnya aku mendengar suara kucing itu dari luar kamar Rena, Jo sudah siap untuk pergi, tapi aku tetap menarik tangannya, Rena muncul ke muka pintu menyambut kami dengan wajah yang luar biasa senang karena telah menemukan anak hilang. Dia menyodorkan Mona ke arah Jo dan membuat Jo luar biasa kaget, aksi kejar- kejaran akhirnya masuk kedalam lembaran kertasku ini, saat itu kami semua memberantakan isi rumah Rena dengan aksi kami, tiga dewasa yang menjelma seperti bocah TK yang berujung dengan bentolan dibeberapa bagian tubuh Jo karena alerginya.

 

Bagiku hidup adalah sebuah ilusi, aku melihatnya tetapi sulit untuk meraih itu semua. Aku bukan bicara cinta, tapi sebuah kehidupan. Cara bagaimana seseorang mengatakan cinta, bagaimana seseorang bisa bertahan hidup dalam hal- hal yang mengerikan dan lainnya. Aku tidak pernah berani memutuskan sesuatu, aku belum pernah keluar dari zona aman hidupku, semuanya berjalan dengan biasa saja, tak ada variable yang berbeda, alurku tetap seirama. Usiaku telah semakin meninggi, angkanya semakin bertambah tahun demi tahun yang berlalu, dengan begitu seharusnya aku sudah mengenal dunia ini, menghitung banyaknya pulau yang ku lewati, jalan yang kutelusuri dan kota yang aku singgahi, tapi yang aku tahu hanya sekelumit hidup yang sempit hanya itu dan itu saja, aku merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang membuat hidupku tidaklah utuh lagi. Bisakah aku mendapat petunjuk? Meski aku sendiri tidak punya hal untuk ditelusuri. Kenapa otakku begitu terganggu akhir- akhir ini, apa ini hanya stres dari beban hidup atau semacamnya.

 

Hari ini bibi menyuruhku mengantar pesanan kue milik salah satu customer, aku mengendarai sepeda motor yang bibi sediakan di toko sebagai pengganti sepedaku yang hilang, motor itu dibelinya untuk mengantar kue pesanan customer.  Aku rasa hanya perlu 30 menit untuk sampai disana. Aku bergegas karena sore ini aku dan Rena akan keluar untuk membeli stok makanan untuk Mona kucingnya, karena Jo tidak lah mungkin mengatakan “ya” tentang hal itu jadi aku yang harus menumbalkan diri mengantar Rena belanja. Aku terus menarik gas di tanganku, jalanan rasanya ramai sekali, dari arah yang berdekatan aku bisa melihat punggung- punggung pengemudi lainnya. Kemacetan ini membuatku berkeringat, rambutku yang awalnya terurai dengan sempurna menjadi lepek dan lusuh seperti tak bernyawa. Sembari menunggu macet berlalu, aku memasang headseat di telingaku untuk menutupi kejenuhan ini. Di telan macet beberapa kilo meter akhirnya aku bisa bersantai dengan jalanan yang cukup lengang, hanya ada beberapa pengendara motor disana. Tapi saat aku melihat jam tanganku, ternyata aku sudah satu jam melewati jalanan yang sama tanpa kusadari. Aku akhirnya bisa panik juga saat aku benar- benar kembali lagi pada jalan itu, dan aku rasa ini bukan alamat yang tertera di kertas pemberian bibi. Mencoba untuk tetap menguasai diri dan bersabar, tapi semua itu hanya sia- sia dan yang tersisa hanya lelah, pantatku bahkan tak mampu lagi berlama- lama duduk d jok motor itu, aku sudah cukup lelah. Adakalanya malu bertanya pantat kesakitan, mungkin begitu. Aku sudah tak sanggup duduk berlama- lama dan mengendarai motor itu, hasilnyapun tak pernah bagus, aku hanya berputar- putar di tempat yang sama. Aku bertanya pada seseorang yang berada disekitar, mencari dan sesuatu membuatku mendekat pada sosok pria berperawakan tinggi, dia tak banyak berpikir saat aku menanyakan alamatnya, aku tebak dia adalah orang sekitar yang tahu betul seluk beluk kota ini, mungkin dengannya aku bisa sampai ketujuan. Adalah hal yang bodoh jika seorang wanita percaya pada seorang pria yanng baru beberapa menit dikenalnya, tapi hal ini sangatlah berbeda, aku tidak bisa lagi membawa motor dan dengan terpaksa harus melibatkannya denganku, karena jika tidak dengannya aku mungkin saja akan datang ketempat semula. Akhirnya aku menyerahkan motorku pada pria itu dan duduk di belakangnya, di mataku aku tidak melihat sesuatu yang buruk dari pria itu, itu sebabnya aku percaya meski ini pertemuan pertama kami, bodoh memang tapi yasudahlah dari pada pantatku sakit lebih baik mencari jalan aman saja.

“Kamu  mau kopi? Aku teraktir, bagaimana?”tanyaku

“di siang bolong seperti ini? Kopi?” dia balik bertanya

“aku suka kopi, kamu mau atau tidak?” pria tanpa nama itu mengangguk dengan senyum yang tipis.

Saat aku hendak membeliya, dia spontan berdiri dan memarkir motor.” Biar aku saja, duduklah dan istirahat dulu. Kamu pasti lelah.”

Aku menarik nafas malas, aku sudah sangat lusuh, panggilan masuk dari bibi sudah tidak terhitung, mungkin dia khawatir. Tapi tidak lagi setelah aku bilang aku akan segera kembali. Pria itu kembali dengan membawa dua cup kopi di tangannya.

“apa ini hanya kebetulan saja, aku suka latte, kau tahu?” tanyaku penasaran

“aku hanya menebak.” Di jawabnya dengan datar.

Ini pertemuan pertama kami, bahkan di detik ke sekian aku tidak tahu namanya siapa, dan dia juga sama sekali tidak menanyakan siapa namaku. Tapi aku agak ragu mengatakan ini pertemuan pertama, dia seperti orang lama, tapi tidak mungkin karena jelas saja aku baru bertemu dan sama sekali tidak mengenalnya.

“kerja dimana?” aku memulai percakapan untuk kesekian kalinya.

“aku penulis dan bekerja di salah satu perusahaan penerbitan buku” jawabannya lumayan panjang sekarang.

“wow penulis, mmm pasti kamu sangat puitis”

“seseorang memintaku untuk menjadi penulis yang baik”

“seseorang?”

“lupakan, kamu sudah selesai minum, ayo kita lanjutkan.”

Pria dingin !!!, menyedihkan sekali, ini pertama kalinya pertanyaanku tidak mendapat jawaban dari seseorang. Sekitar sepuluh menit dia berhenti, aku rasa ini adalah alamat  yang tepat. Dia turun dan membawa kue itu, lalu memberiku uang sejumlah tagihannya. Aku melongo dan terbengong hebat, apa maksudnya dengan memberiku uang.

“terima kasih sudah mengantarkan kue ini, hati- hati di jalan” ucapnya singkat.

 

Bodoh, dia menipuku. Dari tadi aku berputar- putar dijalanan yang serupa sampai pantatku sakit, tanganku pegal dengan rambut lepek, lalu ini yang aku dapat, dia adalah pemilik kue itu, lalu kenapa harus memintaku mengantarnya sampai rumah? Kenapa tidak bilang dari tadi saat aku menanyakan alamat itu, aku mendumel selama perjalanan pulang, kesal setengah mati, mood ku surut seiring surutnya bensin di teng motor ini. Cobaan apa lagi ini, bahkan sekarang kakiku harus ikut terlibat juga, kenapa harus kehabisan bensin di tengah jalan tanpa pom bensin disekitarnya, hhh kesialan hari ini sangatlah lengkap.

 

Membawa ponsel lebih berarti dari pada membawa isi otakku yang kosong ini, Jo adalah pilihan terakhir  dari kesialan kali ini, semoga dia tidak sedang sibuk dengan latihan gim nya.

Jo memang teman paling sigap, dia ada kerap kali aku memanggilnya. Dengan sisa- sisa remuknya tulang punggungku karena terlalu lama mengendarai motor aku akhirnya bisa merebahkan tubuhku dengan baik untuk beristirahat.

 

Rasanya kepalaku berat sekali, pekan ini ingin rasanya pergi berlibur. Dan rencana di otakku tidak hanya sekedar sketsa semata, aku bisa pergi  berlibur meski hanya untuk beberapa hari tentunya dengan memboyong Jo dan Rena, tentu, tidak ada lagi nama selain dua makhluk itu. Pantai mungkin cocok untuk menenggelamkan semua hal negatif akhir- akhir ini, aku berharap semua hal buruk akan hilang saat aku kembali nanti. Aku mengingat rayuan pulau kelapa yang menyenandungkan syairnya, membuatku lupa bagaimana hidup yang telah kujalani tidak begitu mulus, aku merasa sedikit ringan berada disana, bersama kedua temanku yang aku rasa mereka juga menikmati hari ini. Jo dengan celana boxernya yang kurasa terlalu ketat dan dadanya yang sengaja di ekspose ke dunia itu berlenggang seperti model photoshoot. Dengan matanya yang jelas terbuka lebar, kalian tentu lebih tau apa yang di lihat Jo, tentu saja laut dan.... airnya, haaaa. Dan Rena, kaca mata hitam tak bisa jauh darinya, begitupun krim tabir surya atau sejenisnya yang sudah dibalutkan tebal pada kulitnya yang terawat, dia sangat takut akan sinar matahari yang dia rasa sangat tidak baik untuk kulitnya. Dan aku, hanya mengambil gambar dengan kamera yang aku bawa, bagiku moment seindah apapun akan lebih lengkap jika kita mengabadikannya, karena bagiku daya ingat di memori manusia tidaklah menjamin untuk jangka panjang. Saat hendak memotret Jo dan Rena, aku mundur beberapa langkah demi mendapatkan hasil foto yang maksimal, tapi kakiku akhirnya terpeleset dan tercebur ke mulut pantai, bukannya respect padaku, ternyata dua bocah ini hanya mengambil kamera yang tergantung di leherku dan memeriksanya apa masih baik- baik saja atau tidak, heyy ! apa aku tidak lebih berarti dari pada kamera itu !!! aku kesal dan basah kuyup.

 

Dimalam terakhir liburan singkat ini, aku dan ke dua bocah itu sepakat untuk mengadakan pesta bakar jagung, sederhana bukan. Didalamnya terdapat guyon dan tanya jawab dalam sebuah game yang kami buat, dan jelas saja selalu ada  konsekuensinya dari setiap kekalahan. Salah satu hal bodoh yang harus dilakukan adalah berlari sambil teriak “hidupku bahagia, aku baik- baik saja”, Rena bilang kata- kata itu punya makna dorongan khusus yang akan membuat kita mempunyai energi positif yang lebih baik, begitu pilosofinya kali ini dan kami bertiga akhirnya punya skor yang sama dan punya kesempatan untuk meneriakan kalimat itu.

 

Latte adalah sesuatu yang manis, bahkan lebih manis dari jenis kopi lainnya. Takarannya didominasi butiran gula, dengan foam yang menjadi aksen cantik di atasnya. Tapi semanis apapun secangkir latte, dia adalah sejenis kopi yang punya sisi pahit. Seseorang mengatakan padaku  sebegitu tertrikknya aku pada sebuah latte dengan mengabaikan kopi lainnya, orang itu tidak mengenalku sebelumnya, begitupun aku yang sama sekali tidak pernah melihat wajahnya. Bukankah ini suatu kejanggalan, beribu kemungkinan bisa terjadi, salah satunya mungkin hanya tebakan belaka. Dan aku mempercayai itu meski logikaku tak mengatakan iya.

Sudah sebulan lebih terakhir kali aku mendapatkan teror latte itu, cup itu masih bertengger di dalam kulkas nenek. Selama apapun aku memerhatikannya, tak ada yang aku ingat dalam cup kopi itu. Tulisan itu, rasanya punya seni yang sama seperti tulisan pada secarik kertas yang berada di buku milikku. Apa itu adalah tulisan dari orang yang sama? Sedang terbengong dengan lamunan itu, bel berbunyi, seseorang berada di luar rumah. “tunggu sebentar” aku berteriak sementara kakiku melenggang menuju mulut pintu. Tapi saat aku benar- benar keluar, tidak ada siapapun di sana. Aku jelas semakin merasa janggal, pikiranku semakin melayang ke arah yang negatif, tanpa mengatakan hal itu kepada nenek, aku akhirnya pamit untuk pulang.

 

Sepedaku yang terparkir di halaman rumah nenek ku balik arah dan mulai ku kayuh pelan. Perjalanan ke rumah bibi memang lumayan jauh, tapi aku sangat rindu mengayuh sepeda terlebih aku baru mendapatkan sepeda baru setelah beberapa lama kehilangan sepedaku. Latte dan surat itu masih bergelantungan di otakku, kayuhanku semakin pelan dan sembarang, mataku tak lagi fokus pada jalanan, dan akhirnya seseorang dari arah belakang menyambarku dengan sepeda motor dan membuat aku tersungkur karena sambaran itu. Aku merintih kesakitan, lutut ku tergores membuat itu terasa sangat perih. Seseorang mendekat dan bertanya banyak hal tapi aku tak memperdulikannya. Aku tertunduk karena pandanganku masih belum sempurna, kepalaku masih sempoyongan. Aku menyipitkan mataku berusaha melihat seseorang di belakangku. Ini bukan pertemuan pertama kami, dia adalah orang yang pernah aku temui beberapa minggu lalu, masih ku ingat wajahnya yang dingin dan membuatku  kesal setengah mati karena dia yang telah menipuku dengan perihal alamat costumer yang ternyata adalah rumahnya itu. Menyadari kalau orang itu adalah orang yang sama, aku menggubrisnya, aku melepaskan bantuan tangannya yang mencoba membangunkanku. Masih tanpa suara, aku diam dan mencoba bangun dengan payah. Mencari sesuatu yang bisa menopang badanku. Tak ada orang disana, hanya ada kami  berdua, dan itu sangat menyebalkan. Meski terlihat peduli tapi wajahnya masih tetap dingin, apa mungkin wajahnya punya seni sedingin ini. Setelah memastikan aku bisa duduk dengan baik dipinggiran jalan, dia melenggangkan kakinya pergi meninggalkanku. Aku sudah setengah mati merasa kesal, kesakitan ditambah lagi dengan sikapnya yang kurang ajar tanpa simpati tersebut. Kenapa setiap bertemu dengan orang ini kesialan selalu menyertaiku, seperti bocah yang tersisihkan air mata jatuh disudut mataku, jujur saja itu memalukan, tapi entah kenapa saat aku kesal hanya itu yang bisa aku lakukan. Setelah dua puluh menit aku diam disana, orang itu kembali. Aku sudah siap dengan kemarahan dan omelan yang sudah aku susun dengan rapi yang sudah setengah mati kusimpan di kerongkonganku yang siap aku semburkan saat dia tepat di hadapanku. Tapi sebelum aku mengeluarkan ocehan dan kemarahanku itu, tanpa aku duga, dia justru duduk di depanku, dia memegang kakiku tepat di lututku yang terluka, dengan perban di tangannya, dia balutkan perban itu dengan sesekali berhenti karena aku merentih kesakitan. Setelah selesai dengan perban itu, dia memberikan tatapan tanpa kusadari, dan saat aku menyadari itu ku lontarkan tatapan balasan. Bukannya menghindar, orang itu malah mempertajam tatapannya, fokus bola matanya tertuju pada sudut mataku, tangannya tak lama mendarat di sudut mataku dan mengusap air mata yang tersisa dengan jarinya. Aku terkejut dan menggubrisnya sampai dia tersungkur. Aku mengucek kedua mataku dan mencoba berdiri, tapi harus ku sadari kalau itu akan menjadi hal yang sulit. Aku mencoba mendorong sepedaku dengan kaki berbalut perban, aku memapahnya dengan pelan dan hati- hati. Lalu dia lari dan mengikutiku dari belakang. Aku takut semua akan berakhir buruk, aku takut dia seorang penguntit yang sengaja mengikutiku sedari tadi. Dia menahan sepedaku dan mengambil alihnya.

“bahkan sampai sekarang kamu masih keras kepala, dengar !!! kamu hanya perlu banyak mengingat agar tidak terus- menerus salah paham terhadapku” Begitu ucapnya singkat.

Seperti terhipnotis dengan kalimat itu, aku justru terdiam dan membuatku berpikir banyak hal dengan kalimat itu, rasanya dia sedang mencoba mengutarakan sesuatu hal yang dia tahu. Tapi aku sama sekali tidak mengenalnya, apa mungkin dia mengetahui beberapa hal yang aku tidak tahu? Aku akhirnya membiarkannya mengayuh sepeda dan duduk di depannya. Perjaanan yang kami lalui sangatlah sepi, di tambah dia yang sama sekali tak bersuara.

“apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanyaku mengawali pembicaraan.

“tentu saja, kita baru bertemu beberapa minggu lalu apa kamu sudah lupa?” jawabnya agak ketus.

“maksudku sebelum itu, apa kita pernah bertemu?” Dia hanya diam dan menatapku yang tepat berada di depan wajahnya dengan jarak yang sangat dekat dengan mengabaikan pertanyaanku.

“diamlah, jika terus mengoceh kamu bisa jatuh untuk kedua kalinya.” Bentaknya.

Sesampainya di rumah bibi, Jo sudah berada di mulut pintu. Wajahnya panik setelah melihat perban di kakiku. Di tambah lagi saat dia melihat pria itu menggandeng tanganku untuk membantuku berjalan. Jo menyergapku dari arah pintu, menyembar tanganku dari pria itu. Dengan rasa paniknya semua pertanyaan ia lontarkan terkait kakiku termasuk tentang pria yang baru saja ia lihat.

 

Setelah kejadian itu, Jo intens menjengukku ke rumah, membawakanku sarapan, mengganti perban dan lebih dari itu, dia juga terkadang membantuku berjalan. Dari tahun- tahun yang aku lalui bersama Jo dan Rena ini adalah tahun dimana aku mendapat perhatian lebih dari sosok Jo. Sampai saat aku mulai memutuskan untuk mengambil bisnis internasional sebagai jurusan pilihanku aku terkejut karena ternyata Jo mengambil kelas dan jurusan yang sama denganku tanpa aku tahu. Sebelumnya dia tidak pernah tertarik dengan kegiatan perkuliahan, tapi sekarang dia berubah dan mulai rajin duduk di sampingku.

 

Rena memanggilku dan Jo, untuk kesekin kalinya wanita rempong ini ijin pulang lebih cepat karena jadwal mingguan Mona yang harus melakukan pemeriksaan kesehatan, itu memang sudah menjadi jadwal rutin. Dan tinggalah aku dan Jo berjalan beriringan menuju parkiran, dia berjalan pelan memapahku yang masih belum lepas dari balutan perban. Dia mengajaku berhenti sejenak dan duduk untuk istirahat. Aku sibuk dengan ponsel di tanganku.

“bisakah kita lebih dari ini?” kalimat Jo membuat aku menyimpan ponsel dan fokus untuk mencerna maksud dari kalimat yang Jo katakan.

“aku menyesal kenapa kita harus berteman” Jo menyambung kalimat yang terpotong.

Aku semakin takut dengan kalimat yang akan dia katakan selanjutnya. Dia tidak pernah seserius ini.

“setidaknya jika kita tidak berteman di awal, mungkin akan memudahkanku lebih dekat dengan status yang berbeda.” Jo membuatku semakin tak mengerti.

“bukankah sedari awal kita memang sudah berteman? Aku menyukai itu dan aku merasa kita sangat dekat. Aku rasa kita benar- benar teman baik Jo.” Kataku coba untuk menjawab.

“tapi aku tidak suka dengan itu semua.” Bentaknya

“jika kamu tidak suka sebagai temanku maka kita bisa jadi orang asing !!!” aku balik emosi.

 

Aku berdiri dan meninggalkan Jo yang masih duduk. Jo berlari ke arahku tapi aku tidak menggubrisnya. Aku merasa kecewa karena sebenarnya ada sesuatu yang dia inginkan dari pertemanan ini. Aku sangat tak percaya Jo akan berakhir dengan kata- kata yang sangat aku takutkan dari dulu. Dan setelah beberapa hari Jo mengutarakan itu, semuanya berubah begitu kontras. Kami jadi jarang sekali menghabiskan waktu seperti dulu. Saat berada di kelas yang sama, dia tidak banyak bicara, seperti ada sesuatu yang membuat kami berjauhan.

 

Akan ada saatnya semua yang kita pilih dulu adalah sesuatu yang kita sesali saat ini, dinilai dari apapun langkah yang telah terlalui dan beberapa pengorbanan yang sudah kita injak dan lewati, itu hanya akan jadi serpihan yang tak terakui. Tapi tahukah satu hal, bahwa rasa sakit tak hanya datang karena seseorang sedang patah hati, tapi rasa sakit kerap kali datang pada orang- orang yang terlukai.

 

Apakah itu tandanya aku melukai hati Jo? Rembulan di pucuknya dan enggan untuk kugapai. Pelan ku tutup mata tapi tak bisa melupakan semuanya. Aku tak pernah tahu bahwa pertemananku dengan Jo akan berakhir hanya karena perasaan yang tak pantas yang tidak bisa aku terima.

Sudah beberapa hari aku di sini, tapi semuanya masih nihil. Tak ada wujud apapun yang aku dapat dari satu cup kopi ini.

 

“kau yakin akan membuangnya?” seseorang memegang pergelangan tanganku dengan tiba- tiba. Aku sudah familiar dengan suara gerahamnya. Aku menoleh malas dan tertunduk diiringinya. Diam tak memberi jawab.

“kenapa kau peduli ? hah?” jawabku kasar

Dia memegang pundakku lembut, tapi aku menggibaskan tangannya dariku.

“aku hanya butuh keluar dari teka- teki ini, aku hanya butuh jawaban” berkata- kata di depannya seolah menganggap dia mengerti apa masalahku. Air mata bodoh itu akhirnya menambah rasa maluku dengan tumpah begitu saja tak tertahan di depan orang itu. Dia tak berkata banyak, hanya melihatku dari arah yang sangat intens. Tak ada rasa marah dengan sikap kasarku yang terkadang tak terduga itu. Dia seakan sudah mengenalku lama, padahal namanya saja aku tak pernah tahu. Pertemuan kesekianpun tak pernah bertukar nama sama sekali.

 

Rasaku bercampur disana, aku kesal, marah dan malu di hadapannya. Aku menanangis dengan bodoh. Aku melewati beberapa kelasku pekan ini. Aku berlabuh ditepian danau kecil, aku dikelilinggi pohon- pohon pinus disekitarnya, ada beberapa bunga bugenvile yang menabur bau semerbak di sana. Kutarik napas panjang, menengadahkan wajah berhadapan dengan langit, silaunya membuat mataku menyempit.

 

Mataku beralih kembali pada air yang tak bergeming sama sekali, tenang dan tak memberi respon padaku. Tapi aku melihat suatu bayangan dengan durasi yang singkat, itu sangat aneh, aku merasa seolah- olah aku pernah berada di sini bersama seseorang sebelumnya, padahal aku baru menemukan tempat ini beberapa menit berselang. Bayangan itu semakin menyeruak di sela- sela otakku. Apa aku sedang dejavu ? apa hanya bayangan yang aku buat sendiri. Aku memutar memoriku tapi tak mengingat apapun, kepalaku malah sakit dibuatnya. Semuanya terasa berat dan rasanya aku tak bisa menopang tubuhku lagi, sampai akhirnya aku tumbang. Tapi, bukannya terjatuh ke tanah, aku merasa ada seseorang dari arah belakang yang menopang tubuhku secara tiba- tiba hingga aku terjatuh padanya.

“kenapa kamu di sini? Jangan bilang ini kebetulan?” aku masih memegang kepalaku yang masih menyisakan rasa sakit.

“jangan berpikir teralu keras”

 

Aku terbelalak mencoba mengartikan apa maksud dari pria itu. Dia membawa sebuah album foto yang sudah lusuh di tangannya, satu persatu halaman dia buka, ada wajahku disana. Lembaran itu diiringi tetesan air mata yang mulai berjatuhan. Aku rasanya belum mengenal duniaku secara lengkap.

 

“aku melihat bayangan, seakan aku pernah kesini sebelumnya dengan seorang pria, dia menyelamatkanku saat aku tenggelam dan hampir mati di danau ini. Apa itu dejavu?”

Dia menggeleng kepalanya memberi jawaban padaku.

“apa pria itu kamu?” aku masih bertanya.

Dia memberi anggukan dari pertanyaanku yang ke dua. Tangisku semakin menjadi.

“Kamu yang memberiku secngkir latte tempo hari?” aku semakin memperjelas.

Dia lagi- lagi mengangguk. Dunia seakan mempermainkanku, kenapa tidak membiarkanku tahu sedari awal. Kenapa aku harus melupakan banyak moment indah disini.

 

“Dengar,” dia mengusap air mata yang tersisa, mulutnya hendak mengatakan sesuatu yang lain.

“ aku tak berharap banyak dengan ingatanmu sekarang, jika memang kamu benar- benar tak bisa mengingat semua moment itu, tak apa. Aku hanya ingin memastikan kamu selalu baik- baik saja, oleh karena itu setiap hari yang berlalu semenjak kamu pindah aku selalu mengirimimu surat, walau aku tidak pernah tahu surat itu sampai ke tanganu atau tidak, yang pasti itu pesan rinduku. Semenjak kecelakaan beberapa tahun silam yang menimpa kamu beserta keluargamu, itu adalah moment yang paling menyakitkan juga untukku, saat di mana aku tahu Naya yang aku kenal bahkan tak bisa mengingat namaku sama sekali. Itu sangat menyakitkan.”

 

Aku terus memperhatikan pria di hadapanku, mencoba mengingat lebih banyak hal yang sudah aku lupakan begitu saja. Aku seperti orang bodoh yang kehabisan akal untuk berpikir. Disana aku terus mendesak pria itu untuk bercerita banyak tentang masa laluku. Termasuk kedua orang tuaku, dan sampai akhirnya aku mendapat sebuah kenyataan bahwa orang tuaku tidak pernah membuangku. Orang tuaku meninggal di tempat saat insiden kecelakaan itu. Tapi bibi menjelaskan padaku dengan versi yang berlawanan, pernyataan yang bibi katakan adalah bahwa aku telah di buang oleh orang tuaku sejak aku kecil karena mereka tidak menginginkan anak perempuan, dan insiden kecelakaan itu tidak pernah aku ketahui dari cerita bibi.

 

Napasku  terengah, kekesalanku semakin memuncak. Kenyataan apa lagi yang lebih menyakitkan dari ini. Kenapa aku sangat bodoh selama ini. Bahkan memoriku tak bisa mengingat banyak hal.

Aku berlari membelah jalanan, tak tahu akan berlabuh di mana, air mata terus berjatuhan. Aku tak sabar ingin mendengar pengakuan bibi dengan semua skenario dari sandiwara yang telah dia buat selama ini. Pria itu mengejar dan meraih tanganku, dengan lelah yang tersisa aku terduduk di tanah, lemas.

 

“jangan mengatakan hal yang menyakitkan pada bibimu, dia membuat sandiwara itu karena takut kamu sedih dengan kepergian orang tuamu. Jangan benci dia.”

“kenapa kamu membelanya ? hah? bahkan surat yang kamu beripun tidak pernah sampai ke tanganku karena dia. Dan sekarang kamu masih menganggap dia orang baik”. Aku tetap bersikeras.

“itu semua dia lakukan untukmu Nay, agar kamu tidak mengingat masa lalumu yang menyakitkan itu.”

 

Lalu apa yang harus aku lakukan ? terdiam dengan angin yang tak pernah menghiraukan sama sekali, atau dengan embun yang hanya menyampaikan hawa dingin. Aku tak tahu banyak sekali puzzle yang harus aku cari untuk melengkapi memoriku.

 

Pria itu tetap tak bisa membuatku tenang, kemarahanku masih menggebu, sampai aku tak sadar telap kakiku berdarah karena aku lari tanpa alas kaki. Tak peduli dengan semua itu, aku cepat bergegas untuk meninggalkan tempat itu menuju rumah bibi tanpa pamit pada nenek.

Kedatanganku membuat bibi terbelalak, bukan karena aku tapi karena pria yang berada di belakangku, pria yang sampai detik ini masih belum ku tahu namanya, lebih tepatnya belum ku ingat.

 

“Niko.,” untuk pertama kalinya bibi mengucapkan sebuah nama yang aku yakin adalah nama dari seorang pria yang sekarang berada di sampingku.

“bibi pembohong, apa maksud semua ini? Apa maksud dari surat- surat yang bibi sembunyikan di laci itu. Dan kenapa bibi membuat skenario palsu tentang kematian kedua orang tuaku dengan alur yang sangat berbeda. Jelaskan !”

 

Air mata mengalir lagi dari ujung mataku sampai jatuh entah kemana. Bibi hanya diam dengan tangis dipenghujung pengakuannya, dia menangis mendengar pertanyaanku tersebut. Dia memelukku tapi aku mengabaikanya. Dia adalah pembohong besar untukku, orang yang benar- benar aku percaya selama ini ternyata adalah seorang pembohong yang membuatku menutup pintu masa laluku yang telah lama terlupakan. Bibi memanipulasi ini semua, bahkan bibi memanfaatkan amnesia yang aku derita demi skenario yang telah dia buat.

Aku melepas genggaman tangannya, berlari keluar pintu dan lari tanpa tahu kemana kaki melangkah. Nikko mengejar untuk kesekian kalinya tapi itu sia- sia untuk kali ini. Begitupun bibi yang juga melakukan hal yang sama.

 

“Brakkk...kk”

Suara benturan membuatku menoleh ke arah belakangku. Mataku kaku dan tak bisa berkedip, aku melihat tubuh bibi telah berlumuran darah, sebuah mobil menabraknya saat dia melintasi jalan untuk mengejarku. Aku berbalik ke arahnya, membelah kerumunan orang dan Nikko diantara mereka. Tangisku semakin menjadi, kali ini tangis penyesalan dariku karena telah menyebabkan semua ini. Aku histeris, bahkan saat bibi dibawa ke rumah sakit aku tidak bisa tenang. Disampingku Nikko memegang tanganku berusaha menenangkan. Dan di saat yang bersamaan datang Rena dan Jo. Entah dari mana mereka tahu, kabar itu terlalu cepat untuk menyebar begitu saja. Jo mengambil posisi di depanku, di mengusap air mata seketika saat dia datang. Pertanyaan dari Rena maupun Jo tidak mendapat jawaab dari mulutku saat itu, aku kalut dan memilih untuk bungkam. Hanya diam dan tangis yang mendominasi.

 

Selang beberapa menit, nenek datang mendaratkan pelukannya untuk menenangkanku. Beberapa penjelasan dari nenek membuatku mengerti kenapa nenek setuju dan ikut terlibat untuk menyetujui kebohongan yang bibi pilih. Aku mengerti semua itu karena mereka menyayangiku.

Saat bibi mulai perlahan membuka mata, dia menggenggam tanganku erat. Mencoba menjelaskan dengan napasnya yang masih berat.

“bibi bukan memanfaatkan situasi dari amnesia yang kamu derita, tapi ini semua kami lakukan hanya untuk menjaga perasaanmu Nay, percayalah. Bibi tahu ini salah, tapi bibi benar- benar takut kamu terluka.”

 

Secangkir latte memang tak lebih manis dari gula. Pahitnya kopi tetap akan manis jika ada instrumen lain di dalamnya yang membuatnya lebih menarik. Hidupku juga serupa dengan itu, meski terlihat menyakitkan namun selalu ada sisi manis di dalamnya.

Sama sepetri latte terkadang ada beberapa hal yang kita lupa dalam hidup sehingga kita membuatnya terlalu pahit tapi akan ada saatnya memori itu mendarat kembali dan menambah rasa manis yang sempurna.

 

Hanya satu hal yang aku ingat dalam hidup, bahwa waktu selalu terlibat dalam hal apapun.

  • 21 November 2018